MUSH’AB BIN UMAIR, TELADAN BAGI PARA PEMUDA ISLAM
Masa muda atau usia remaja adalah saat
orang-orang mulai mengenal dan merasakan manisnya dunia. Pada fase ini, banyak
pemuda lalai dan lupa, jauh sekali lintasan pikiran akan kematian ada di benak
mereka. Apalagi bagi mereka orang-orang yang kaya, memiliki fasilitas hidup
yang dijamin orang tua. Mobil yang bagus, uang saku yang cukup, tempat tinggal
yang baik, dan kenikmatan lainnya, maka pemuda ini merasa bahwa ia adalah raja.
Di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, ada seorang pemuda yang kaya, berpenampilan rupawan, dan biasa dengan
kenikmatan dunia. Ia adalah Mush’ab bin Umair. Ada yang menukilkan kesan
pertama al-Barra bin Azib ketika pertama kali melihat Mush’ab bin Umair tiba di
Madinah. Ia berkata,
رَجُلٌ لَمْ أَرَ مِثْلَهُ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ الجَنَّةِ
“Seorang laki-laki, yang aku belum pernah
melihat orang semisal dirinya. Seolah-olah dia adalah laki-laki dari kalangan
penduduk surga.”
Ia adalah di antara pemuda yang paling
tampan dan kaya di Kota Mekah. Kemudian ketika Islam datang, ia jual dunianya
dengan kekalnya kebahagiaan di akhirat.
Kelahiran
dan Masa Pertumbuhannya
Mush’ab bin Umair dilahirkan di masa
jahiliyah, empat belas tahun (atau lebih sedikit) setelah kelahiran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dilahirkan pada tahun 571 M (Mubarakfuri, 2007: 54), sehingga Mush’ab bin Umair
dilahirkan pada tahun 585 M.
Ia merupakan pemuda kaya keturunan Quraisy;
Mush’ab bin Umair bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Abdud Dar bin Qushay bin Kilab
al-Abdari al-Qurasyi.
Dalam Asad al-Ghabah, Imam Ibnul Atsir
mengatakan, “Mush’ab adalah seorang pemuda yang tampan dan rapi penampilannya.
Kedua orang tuanya sangat menyayanginya. Ibunya adalah seorang wanita yang
sangat kaya. Sandal Mush’ab adalah sandal al-Hadrami, pakaiannya merupakan
pakaian yang terbaik, dan dia adalah orang Mekah yang paling harum sehingga
semerbak aroma parfumnya meninggalkan jejak di jalan yang ia lewati.” (al-Jabiri,
2014: 19).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَا رَأَيْتُ بِمَكَّةَ أَحَدًا أَحْسَنَ لِمَّةً ، وَلا أَرَقَّ حُلَّةً ، وَلا أَنْعَمَ نِعْمَةً مِنْ مُصْعَبِ بْنِ عُمَيْرٍ
“Aku tidak pernah melihat seorang pun di
Mekah yang lebih rapi rambutnya, paling bagus pakaiannya, dan paling banyak
diberi kenikmatan selain dari Mush’ab bin Umair.” (HR. Hakim).
Ibunya sangat memanjakannya, sampai-sampai
saat ia tidur dihidangkan bejana makanan di dekatnya. Ketika ia terbangun dari
tidur, maka hidangan makana sudah ada di hadapannya.
Demikianlah keadaan Mush’ab bin Umair.
Seorang pemuda kaya yang mendapatkan banyak kenikmatan dunia. Kasih sayang
ibunya, membuatnya tidak pernah merasakan kesulitan hidup dan kekurangan
nikmat.
Menyambut
Hidayah Islam
Orang-orang
pertama yang menyambut dakwah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah istri beliau Khadijah, sepupu beliau Ali bin Abi
Thalib, dan anak angkat beliau Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhum. Kemudian
diikuti oleh beberapa orang yang lain. Ketika intimidasi terhadap dakwah Islam
yang baru saja muncul itu kian menguat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam berdakwah secara sembunyi-sembunyi di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam
radhiyallahu ‘anhu. Sebuah rumah yang berada di bukit Shafa, jauh dari
pengawasan orang-orang kafir Quraisy.
Mush’ab bin
Umair yang hidup di lingkungan jahiliyah; penyembah berhala, pecandu khamr,
penggemar pesta dan nyanyian, Allah beri cahaya di hatinya, sehingga ia mampu
membedakan manakah agama yang lurus dan mana agama yang menyimpang. Manakah
ajaran seorang Nabi dan mana yang hanya warsisan nenek moyang semata. Dengan
sendirinya ia bertekad dan menguatkan hati untuk memeluk Islam. Ia mendatangi
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di rumah al-Arqam dan menyatakan
keimanannya.
Kemudian Mush’ab menyembunyikan
keislamannya sebagaimana sahabat yang lain, untuk menghindari intimidasi kafir
Quraisy. Dalam keadaan sulit tersebut, ia tetap terus menghadiri majelis
Rasulullah untuk menambah pengetahuannya tentang agama yang baru ia peluk.
Hingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat yang paling dalam ilmunya.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya ke Madinah untuk
berdakwah di sana.
Menjual Dunia Untuk Membeli Akhirat
Suatu hari Utsmani bin Thalhah melihat
Mush’ab bin Umair sedang beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia pun melaporkan
apa yang ia lihat kepada ibunda Mush’ab. Saat itulah periode sulit dalam
kehidupan pemuda yang terbiasa dengan kenikmatan ini dimulai.
Mengetahui putra kesayangannya meninggalkan
agama nenek moyang, ibu Mush’ab kecewa bukan kepalang. Ibunya mengancam bahwa
ia tidak akan makan dan minum serta terus beridiri tanpa naungan, baik di siang
yang terik atau di malam yang dingin, sampai Mush’ab meninggalkan agamanya.
Saudara Mush’ab, Abu Aziz bin Umair, tidak tega mendengar apa yang akan
dilakukan sang ibu. Lalu ia berujar, “Wahai ibu, biarkanlah ia. Sesungguhnya ia
adalah seseorang yang terbiasa dengan kenikmatan. Kalau ia dibiarkan dalam
keadaan lapar, pasti dia akan meninggalkan agamanya”. Mush’ab pun ditangkap
oleh keluarganya dan dikurung di tempat mereka.
Hari demi hari, siksaan yang dialami
Mush’ab kian bertambah. Tidak hanya diisolasi dari pergaulannya, Mush’ab juga
mendapat siksaan secara fisik. Ibunya yang dulu sangat menyayanginya, kini tega
melakukan penyiksaan terhadapnya. Warna kulitnya berubah karena luka-luka siksa
yang menderanya. Tubuhnya yang dulu berisi, mulai terlihat mengurus.
Berubahlah kehidupan pemuda kaya raya itu.
Tidak ada lagi fasilitas kelas satu yang ia nikmati. Pakaian, makanan, dan
minumannya semuanya berubah. Ali bin Abi Thalib berkata, “Suatu hari, kami
duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid. Lalu
muncullah Mush’ab bin Umair dengan mengenakan kain burdah yang kasar dan
memiliki tambalan. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya,
beliau pun menangis teringat akan kenikmatan yang ia dapatkan dahulu (sebelum
memeluk Islam) dibandingkan dengan keadaannya sekarang…” (HR. Tirmidzi No.
2476).
Zubair bin al-Awwam mengatakan, “Suatu
ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang duduk dengan para
sahabatnya di Masjid Quba, lalu muncullah Mush’ab bin Umair dengan kain burdah
(jenis kain yang kasar) yang tidak menutupi tubuhnya secara utuh. Orang-orang
pun menunduk. Lalu ia mendekat dan mengucapkan salam. Mereka menjawab salamnya.
Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji dan mengatakan hal yang
baik-baik tentangnya. Dan beliau bersabda, “Sungguh aku melihat Mush’ab tatkala
bersama kedua orang tuanya di Mekah. Keduanya memuliakan dia dan memberinya
berbagai macam fasilitas dan kenikmatan. Tidak ada pemuda-pemuda Quraisy yang
semisal dengan dirinya. Setelah itu, ia tinggalkan semua itu demi menggapai
ridha Allah dan menolong Rasul-Nya…” (HR. Hakim No. 6640).
Saad bin Abi Waqqash radhiayallahu ‘anhu
berkata, “Dahulu saat bersama orang tuanya, Mush’ab bin Umair adalah pemuda
Mekah yang paling harum. Ketika ia mengalami apa yang kami alami (intimidasi),
keadaannya pun berubah. Kulihat kulitnya pecah-pecah mengelupas dan ia merasa
tertatih-taih karena hal itu sampai-sampai tidak mampu berjalan. Kami ulurkan
busur-busur kami, lalu kami papah dia.” (Siyar Salafus Shaleh oleh Ismail
Muhammad Ashbahani, Hal: 659).
Demikianlah perubahan keadaan Mush’ab
ketika ia memeluk Islam. Ia mengalami penderitaan secara materi.
Kenikmatan-kenikmatan materi yang biasa ia rasakan tidak lagi ia rasakan ketika
memeluk Islam. Bahkan sampai ia tidak mendapatkan pakaian yang layak untuk
dirinya. Ia juga mengalami penyiksaan secara fisik sehingga kulit-kulitnya
mengelupas dan tubuhnya menderita. Penderitaan yang ia alami juga ditambah lagi
dengan siksaan perasaan ketika ia melihat ibunya yang sangat ia cintai memotong
rambutnya, tidak makan dan minum, kemudian berjemur di tengah teriknya matahari
agar sang anak keluar dari agamanya. Semua yang ia alami tidak membuatnya
goyah. Ia tetap teguh dengan keimanannya.
Peranan
Mush’ab Dalam Islam
Mush’ab bin Umair adalah salah seorang
sahabat nabi yang utama. Ia memiliki ilmu yang mendalam dan kecerdasan sehingga
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusnya untuk mendakwahi penduduk
Yatsrib, Madinah.
Saat datang di Madinah, Mush’ab tinggal di
tempat As’ad bin Zurarah. Di sana ia mengajrkan dan mendakwahkan Islam kepada
penduduk negeri tersebut, termasuk tokoh utama di Madinah semisal Saad bin
Muadz. Dalam waktu yang singkat, sebagian besar penduduk Madinah pun memeluk
agama Allah ini. Hal ini menunjukkan –setelah taufik dari Allah- akan kedalaman
ilmu Mush’ab bin Umair dan pemahamanannya yang bagus terhadap Alquran dan
sunnah, baiknya cara penyampaiannya dan kecerdasannya dalam berargumentasi,
serta jiwanya yang tenang dan tidak terburu-buru.
Hal tersebut sangat terlihat ketika Mush’ab
berhadap dengan Saad bin Muadz. Setelah berhasil mengislamkan Usaid bin Hudair,
Mush’ab berangkat menuju Saad bin Muadz. Mush’ab berkata kepada Saad,
“Bagaimana kiranya kalau Anda duduk dan mendengar (apa yang hendak aku
sampaikan)? Jika engkau ridha dengan apa yang aku ucapkan, maka terimalah.
Seandainya engkau membencinya, maka aku akan pergi”. Saad menjawab, “Ya, yang
demikian itu lebih bijak”. Mush’ab pun menjelaskan kepada Saad apa itu Islam,
lalu membacakannya Alquran.
Saad memiliki kesan yang mendalam terhadap
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu dan apa yang ia ucapkan. Kata Saad, “Demi
Allah, dari wajahnya, sungguh kami telah mengetahui kemuliaan Islam sebelum ia
berbicara tentang Islam, tentang kemuliaan dan kemudahannya”. Kemudian Saad
berkata, “Apa yang harus kami perbuat jika kami hendak memeluk Islam?”
“Mandilah, bersihkan pakaianmu, ucapkan dua kalimat syahadat, kemudian
shalatlah dua rakaat”. Jawab Mush’ab. Saad pun melakukan apa yang diperintahkan
Mush’ab.
Setelah itu, Saad berdiri dan berkata
kepada kaumnya, “Wahai Bani Abdu Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang
kedudukanku di sisi kalian?” Mereka menjawab, “Engkau adalah pemuka kami, orang
yang paling bagus pandangannya, dan paling lurus tabiatnya”.
Lalu Saad mengucapkan kalimat yang luar
biasa, yang menunjukkan begitu besarnya wibawanya di sisi kaumnya dan begitu
kuatnya pengaruhnya bagi mereka, Saad berkata, “Haram bagi laki-laki dan
perempuan di antara kalian berbicara kepadaku sampai ia beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya!”
Tidak sampai sore hari seluruh kaumnya pun
beriman kecuali Ushairim.
Karena taufik dari Allah kemudian buah
dakwah Mush’ab, Madinah pun menjadi tempat pilihan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para sahabatnya hijrah. Dan kemudian kota itu dikenal dengan Kota
Nabi Muhammad (Madinah an-Nabawiyah).
Wafatnya
Mush’ab bin Umair adalah pemegang bendera
Islam di peperangan. Pada Perang Uhud, ia mendapat tugas serupa. Muhammad bin
Syarahbil mengisahkan akhir hayat sahabat yang mulia ini. Ia berkata:
Mush’ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu
membawa bendera perang di medan Uhud. Lalu datang penunggang kudak dari pasukan
musyrik yang bernama Ibnu Qumai-ah al-Laitsi (yang mengira bahwa Mush’ab adalah
Rasulullah), lalu ia menebas tangan kanan Mush’ab dan terputuslah tangan
kanannya. Lalu Mush’ab membaca ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran:
144).
Bendera pun ia pegang dengan tangan
kirinya. Lalu Ibnu Qumai-ah datang kembali dan menebas tangan kirinya hingga
terputus. Mush’ab mendekap bendera tersebut di dadanya sambal membaca ayat yang
sama:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ ۚ
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang
rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul.” (QS. Ali Imran:
144).
Kemudian anak panah merobohkannya dan
terjatuhlah bendera tersebut. Setelah Mush’ab gugur, Rasulullah menyerahkan
bendera pasukan kepada Ali bin Abi Thalib (Ibnu Ishaq, Hal: 329).
Lalu Ibnu Qumai-ah kembali ke pasukan kafir
Quraisy, ia berkata, “Aku telah membunuh Muhammad”.
Setelah perang usai, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memeriksa sahabat-sahabatnya yang gugur. Abu Hurairah
mengisahkan, “Setelah Perang Uhud usai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencari sahabat-sahabatnya yang gugur. Saat melihat jasad Mush’ab bin
Umair yang syahid dengan keadaan yang menyedihkan, beliau berhenti, lalu
mendoakan kebaikan untuknya. Kemudian beliau membaca ayat:
مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ ۖ فَمِنْهُمْ مَنْ قَضَىٰ نَحْبَهُ وَمِنْهُمْ مَنْ يَنْتَظِرُ ۖ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلًا
“Di antara orang-orang mukmin itu ada
orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di
antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang
menunggu-nunggu dan mereka tidak merubah (janjinya).” (QS. Al-Ahzab: 23).
Kemudian beliau mempersaksikan bahwa
sahabat-sahabatnya yang gugur adalah syuhada di sisi Allah.
Setelah itu, beliau berkata kepada jasad
Mush’ab, “Sungguh aku melihatmu ketika di Mekah, tidak ada seorang pun yang
lebih baik pakaiannya dan rapi penampilannya daripada engkau. Dan sekarang
rambutmu kusut dan (pakaianmu) kain burdah.”
Tak sehelai pun kain untuk kafan yang
menutupi jasadnya kecuali sehelai burdah. Andainya ditaruh di atas kepalanya,
terbukalah kedua kakinya. Sebaliknya, bila ditutupkan ke kakinya, terbukalah
kepalanya. Sehingga Rasulullah bersabda, “Tutupkanlah kebagian kepalanya, dan
kakinya tutupilah dengan rumput idkhir.”
Mush’ab wafat setelah 32 bulan hijrahnya
Nabi ke Madinah. Saat itu usianya 40 tahun.
Para
Sahabat Mengenang Mush’ab bin Umair
Di masa kemudian, setelah umat Islam jaya,
Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anhu yang sedang dihidangkan makanan
mengenang Mush’ab bin Umair. Ia berkata, “Mush’ab bin Umair telah wafat
terbunuh, dan dia lebih baik dariku. Tidak ada kain yang menutupi jasadnya
kecuali sehelai burdah”. (HR. Bukhari no. 1273). Abdurrahman bin Auf pun
menangis dan tidak sanggup menyantap makanan yang dihidangkan.
Khabab berkata mengenang Mush’ab, “Ia
terbunuh di Perang Uhud. Ia hanya meninggalkan pakaian wool bergaris-garis
(untuk kafannya). Kalau kami tutupkan kain itu di kepalanya, maka kakinya
terbuka. Jika kami tarik ke kakinya, maka kepalanya terbuka. Rasulullah pun
memerintahkan kami agar menarik kain ke arah kepalanya dan menutupi kakinya
dengan rumput idkhir…” (HR. Bukhari no.3897).
Penutup
Semoga Allah meridhai Mush’ab bin Umair dan
menjadikannya teladan bagi pemuda-pemuda Islam. Mush’ab telah mengajarkan bahwa
dunia ini tidak ada artinya dibanding dengan kehidupan akhirat. Ia tinggalkan
semua kemewahan dunia ketika kemewahan dunia itu menghalanginya untuk mendapatkan
ridha Allah.
Mush’ab juga merupakan seorang pemuda yang
teladan dalam bersemangat menuntut ilmu, mengamlakannya, dan mendakwahkannya.
Ia memiliki kecerdasan dalam memahami nash-nash syariat, pandai dalam
menyampaikannya, dan kuat argumentasinya.
Oleh Nurfitri Hadi (@nfhadi07)
Source : https://kisahmuslim.com/4799-mushab-bin-umair-teladan-bagi-para-pemuda-islam.html
Komentar
Posting Komentar